Kabupaten Sumedang, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Ibukotanya adalah Sumedang, sekitar 45 km Timur Laut Kota Bandung. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Indramayu di Utara, Kabupaten Majalengka di Timur, Kabupaten Garut di Selatan, Kabupaten Bandung di Barat Daya, serta Kabupaten Subang di Barat.
Kabupaten Sumedang terdiri atas 26 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan. Sumedang, ibukota kabupaten ini, terletak sekitar 45 km dari Kota Bandung. Kota ini meliputi kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan. Sumedang dilintasi jalur utama Bandung-Cirebon.
Bagian Barat Daya wilayah Kabupaten Sumedang merupakan kawasan perkembangan Kota Bandung. IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri), sebelumnya bernama STPDN (Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri), serta Universitas Padjadjaran berlokasi di Kecamatan Jatinangor.
Sebagian besar wilayah Sumedang adalah pegunungan, kecuali di sebagian kecil wilayah Utara berupa dataran rendah. Gunung Tampomas (1.684 m), berada di Utara Sumedang.
Sejarah
Pada mulanya Kabupaten Sumedang adalah sebuah kerajaan di bawah kekuasaan Raja Galuh. Didirikan oleh Prabu Geusan Ulun Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pakuan Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke-12. Kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, dan kemudian diganti lagi menjadi Sumedang Larang (Sumedang berasal dari Insun Medal/Insun Medangan yang berarti aku dilahirkan, dan larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya).Sumedang Larang mengalami masa kejayaan pada waktu dipimpin oleh Pangeran Angka Wijaya dan Prabu Geusan Ulun sekitar tahun 1578, dan dikenal luas hingga ke pelosok Jawa Barat dengan daerah kekuasaan meliputi wilayah Selatan sampai dengan Samudera Hindia, wilayah Utara sampai Laut Jawa, wilayah Barat sampai dengan Cisadane, dan wilayah Timur sampai dengan Kali Pamali.
Kerajaan ini kemudian menjadi vazal Kesultanan Cirebon, dan selanjutnya berada di bawah kendali Kesultanan Mataram, di masa Sultan Agung. Pada masa Mataram inilah teknik persawahan diperkenalkan di tanah Pasundan dan menjadi awal istilah "gudang beras" untuk daerah antara Indramayu hingga Karawang/Bekasi. Dalam strategi penyerangan Sultan Agung ke Batavia wilayah Sumedang dijadikan wilayah penyedia logistik pangan. Selain itu, aksara Hanacaraka juga diperkenalkan di wilayah Pasundan pada masa ini, dan dikenal sebagai Cacarakan. Pusat kota Sumedang juga dirancang pada masa ini, mengikuti pola dasar kota-kota Mataraman lainnya. Sebelum Bandung dibangun pada abad ke-19, Sumedang adalah salah satu pusat budaya Pasundan yang penting.
Ketika Pakubuwono II harus memberikan konsesi kepada VOC, wilayah kekuasaan Sumedang diberikan kepada VOC, yang kemudian dipecah-pecah, sehingga wilayah Sumedang menjadi seperti yang sekarang ini.
Sumedang mempunyai ciri khas sebagai kota kuno khas di Pulau Jawa, yaitu terdapat Alun-alun sebagai pusat yang dikelilingi Mesjid Agung, rumah penjara, dan kantor pemerintahan. Di tengah alun-alun terdapat bangunan yang bernama Lingga, tugu peringatan yang dibangun pada tahun 1922. Dibuat oleh Pangeran Siching dari Negeri Belanda dan dipersembahkan untuk Pangeran Aria Soeriaatmadja atas jasa-jasanya dalam mengembangkan Kabupaten Sumedang. Lingga diresmikan pada tanggal 22 Juli 1922 oleh Gubernur Jenderal Mr. Dr. Dirk Fock Sampai saat ini Lingga dijadikan lambang daerah Kabupaten Sumedang dan tanggal 22 April diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Sumedang. Lambang Kabupaten Sumedang, Lingga, diciptakan oleh R. Maharmartanagara, putera seorang Bupati Bandung, Rd. Adipati Aria Martanegara, keturunan Sumedang. Lambang ini diresmikan menjadi lambang Sumedang pada tanggal 13 Mei 1959.
Hal-hal yang terkandung pada logo Lingga:
1. Perisai : Melambangkan jiwa ksatria utama, percaya kepada diri sendiri
2. Sisi Merah : Melambangkan semangat keberanian
3. Dasar Hijau : Melambangkan kesuburan pertanian
4. Bentuk Setengah Bola dan Bentuk Setengah Kubus Pada Lingga : Melambangkan bahwa manusia tidak ada yang sempurna
5. Sinar Matahari : Melambangkan semangat dalam mencapai kemajuan
6. Warna Kuning Emas : Melambangkan keluhuran budi dan kebesaran jiwa
7. Sinar yang ke 17 Angka : Melambangkan Angka Sakti tanggal Prroklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
8. Delapan Bentuk Pada Lingga : Lambang Bulan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
9. 19 Buah Batu Pada Lingga, 4 Buah Kaki Tembik dan 5 Buah Anak Tangga : Lambang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1945
10. Tulisan Insun Medal : Tulisan Insun Medal erat kaitannya dengan kata Sumedang yang mengandung arti:
a. Berdasarkan Prabu Tadimalela, seorang tokoh legendaris dalam sejarah Sumedang, Insun Medal berarti (Insun : Aku, Medal : Keluar).
b. Berdsarkan data di Museum Prabu Geusan Ulun; Insun berarti (Insun: Daya, Madangan: Terang) Kedua pengertian ini bersifat mistik.
c. Berdasarkan keterangan Prof. Anwas Adiwilaga, Insun Medal berasal dari kata Su dan Medang
(Su: bagus dan Medang: sejenis kayu yang bagus pada Jati, yaitu huru yang banyak tumbuh di Sumedang dulu), dan pengertian ini bersifat etimologi.
Menurut Bujangga Manik, di dekat Gunung Tampo Omas terdapat Kerajaan Kahiyangan, yang diserang pasukan Cirebon dalam masa pemerintahan Surawisesa.
Belum jelas, adakah hubungan antara Medang Kahiyangan dan Sumedang Larang. Namun pada sat Bujangga Manik memasuki Medang Kahiyangan, menurut versi lainnya, saat itu sudah terdapat kerajaan yang disebut Sumedang Larang.
Dalam Kropak 410 disbutkab, Pendiri Kerajaan Sumedang Larang tak lain adalah Prabu Resi Tajimalela. Ia berkedudukan di Tembong Agung yang disebut Mandala Himbar Buana.
Masih belum jelas pula asal-usulnya tokoh Legendaris leluhur Sumedang ini. Sebab, Tajimalela adalah nama lain dari Panji Romahyang, putera Damung Tabela Panji Ronajaya dari Dayeuh Singapura (Rintisan Penelusuran silam sejarah Jawa Barat).
Sumber lain menjelaskan, baik Kitab Waruga Jagat, Layang Darmaraja, maupun riwayat yang berdasarkan tradisi lisan yang masih hidup, disebutkan bahwa Prabu Tajimalela adalah putera Prabu Guru Aji Putih, salah seorang keturunan raja Galuh yang masih bersaudara dengan Sri Baduga Maharaja. Ia melakukan petualangan hingga ke kawasan Timur sekitar pinggiran Sungai Cimanuk.
Prabu Tajimalela masih memiliki sejumlah nama, antara lain: Prabu Resi Agung Cakrabuana, Batara Tuntang Buana, dan Aji Putih. Dalam Waruga Jagat yang telah disalin dari huruf Arab ke dalam tulisan latin (1117 H), antara lain dikatakan: "Ari putrana Sang Dewa Guru Haji Putih, nyaeta Sang Aji Putih."
Kehadiran Prabu Guru Haji Putih melahirkan perubahan-perubahan baru dalam kemasyarakatan, yang telah dirintis sejak abad ke-8 oleh Sanghyang Resi Agung. Secara perlahan dusun-dusun di sekitar pinggiran sungai Cimanuk itu diikat oleh suatu struktur pemerintahan dan kemasyarakatan hingga berdirilah kerajaan Tembong Agung yang merupakan cikal bakal Kerajaan Sumedang Larang. Kerajaan Tembong Agung tersebut, menurut riwayat teletak di Kampung Muhara, Desa Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja.
Prabu Guru Haji Putih berputera Prabu Resi Tajimalela. Berdasarkan perbandingan generasi dalam Kropak 410 Tajimalela sejajar dengan tokoh Ragamulya (1340-1350) penguasa di Kawali dan tokoh Suryadewata, ayahanda Batara Gunung Bitung di Majalengka.
Memang belum diperoleh keterangan sumber yang menyebut-nyebut siapa gerangan isteri Sang Prabu Resi Tajimalela. Namun demikian, dalam beberapa sumber baik lisan maupun tertulis, dikatakan Prabu Resi Tajimalela mempunyai dua orang putera: Prabu Gajah Agung dan Lembu Agung.
Tahta kerajaan Sumedang Larang dari Prabu Tajimalela dilanjutkan oleh puteranya bernama Atmabrata yang lebih dikenal dengan sebutan Gajah Agung yang berkedudukan di Cicanting.
Kisah awal raja ini memang mirip dengan kisah awal Kerajaan Mataram. Menurut versi Babat Tanah Jawi, antara Ki Ageng Sela dengan Ki Ageng Pamanahan, Ki Ageng Sela memetik dan menyimpan buah kelapa muda, lalu ia pergi. Datang Ki Ageng Pamanahan yang kemudian meminumnya. Maka kemudian yang menjadi raja Ki Ageng Pamanahan.
Demikian pula dalam naskah Layang Darmaraja, yang mengisahkan Prabu Lembu Agung dan Gajah Agung yang melanjutkan tahta kepemimpinan dari Prabu Resi Tajimalela.
Dikisahkan, pada suatu ketika Prabu Tajimalela memanggil kedua putera kembarnya Lembu Agung dan Gajah Agung. Prabu Tajimalela berkata kepada mereka agar ada di antara salah seorang puteranya ini yang bersedia melanjutkan kepemimpinannya.
"Adinda, adindalah kiranya yang lebih tepat menjadi raja," ujar Lembu Agung kepada adiknya. "Kakanda, sungguh tidak pantas adinda yang masih muda usia, bila harus menjadi raja. Kakandalah yang lebih tepat," jawab Gajah Agung. Setelah di antara kedua puteranya, masing-masing saling menunjuk siapa di antara mereka yang pantas menjai raja, akhirnya Prabu Resi Tajimalela memetik buah kelapa muda lalu disimpannya kelapa tadi serta sebilah pedang.
Mereka berdua disuruh menungguinya. "Adinda, tolong jaga kelapa ini. Kakanda hendak pergi ke jamban dulu,"kata Lembu Agung seraya pergi meninggalkan Gajah Agung. Tiba-tiba sepeninggal Lembu Agung, Gajah Agung merasakan haus yang bukan kepalang.
Apa boleh buat, untuk menghilangkan dahaganya, Prabu Gajah Agung kemudian mengupas kelapa itu dan diminumlah airnya. Karenanya, ketika Lembu Agung kembali lagi, Gajah Agung langsung menyampaikan permohonan maaf kepada Lembu Agung karena rasa bersalahnya telah meminum air kelapa yang semestinya dijaganya.
Semula Prabu Gajah Agung menyangka, Prabu Lembu Agung akan memarahinya. Namun ternyata, dengan kebesaran jiwa Prabu Lembu Agung malah berkata: "Adinda, tampaknya suratan takdir telah menentukan, dengan diminumnya air kelapa tadi oleh adinda, sudah barang tentu Adindalah yang sekarang terpilih menjadi raja," ucap Lembu Agung.
Singkat cerita, jadilah Prabu Gajah Agung meneruskan kepemimpinan Prabu Tajimalela, yang kemudian ia meninggalkan tempat menuju daerah di pinggiran Kali Cipeles untuk mendirikan kerajaan yang sekarang disebut Ciguling.
Kemudian ia bergelar Prabu Pagulingan. Sementara kepemimpinan Prabu Gajah Agung kemudian digantikan oleh puteranya , Wirajaya, yang lebih dikenal Sunan Pagulingan. Dalam Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Sunan Pagulingan berkedudukan di Cipameungpeuk.
Namun ada pula yang mengisahkan, kedudukan Kerajaan Sumedang Larang pada saat itu berada di Ciguling, Kelurahan Pasanggrahan, Kecamatan Sumedang Selatan. Yang jelas, ketiga raja Sumedang Larang yang pertama ini masing-masing berkedudukan di tempat yang berbeda-beda. Ini merupakan suatu gejala, bahwa kerajaan tersebut belum permanen yang dapat ditinggali turun temurun oleh para penerus pemegang kekuasaannya. Keadaan tersebut berlangsung sampai beberapa generasi berikutnya.
Puteri Sulung Pagulingan bernama Ratu Ratnasih alias Nyi Mas Rajamantri diperistri Sri Baduga Maharaja. Karena itu, adiknya bernama Martalaya menggantikan kedudukan ayahnya menjadi penguasa Sumedang yang keempat dengan gelar Sunan Guling.
Sunan Guling digantikan oleh puteranya bernama Tirta Kusumah atau Sunan Patuakan sebagai raja kelima Sumedang Larang. Kemudian, ia digantikan lagi oleh puteri sulung bernama Shintawati alias Nyi Mas Patuakan.
Antara Ibu dan anak ini mempunyai gelar yang sama, yaitu Patuakan.
Ratu Shintawati berjodoh dengan Sunan Corenda, raja Talaga putera Ratu Simbar Kencana dari Kusumalaya putera Dewa Niskala. Dengan demikian, ia menjadi cucu menantu penguasa Galuh.
Sunan Corenda mempunyai dua permaisuri yakni Mayangsari puteri Langlang Buana dari Kuningandan Shintawati dari Sumedang. Dari Mayangsari Sunan Corenda memperoleh puteri Bernama Ratu Wulansari alias Ratu Parung.
Berjodoh dengan Rangga Mantri alias Sunan Parung Gangsa (Pucuk Umum Talaga), putera Munding Surya Ageung. Tokoh ini putera Sri Baduga. Sunan Parung Gangsa ditaklukkan oleh Cirebon tahun 1530 dan masuk Islam.
Dari Shintawati puteri sulung Sunan Guling, Sunan Corenda mempunyai puteri bernama Setyasih, yang kemudian menjadi penguasa Sumedang dengan gelar Ratu Pucuk Umum. Ratu Pucuk Umum Menikah dengan Ki Gedeng Sumedang yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Santri. Pangeran ini adalah putera Pangeran Palakaran dari puteri Sindangkasih. Pangeran Palakaran putera Maulana Abdurrahman alias Pangeran Panjunan.
Dengan perkawinan antara Ratu Setyasih dan Ki Gedeng Sumedang inilah agama Islam mulai menyebar di Sumedang pada tahun 1529.
Pangeran Santri dinobatkan sebagai penguasa Sumedang pada tanggal 13 bagian gelap bulan Asuji tahun 1452 Saka, atau kira-kira 21 Oktober 1530 M, tiga bulan setelah penobatan Pangeran Santri.
Pada tanggal 12 bagian terang bulan Margasira tahun 1452 di Keraton Pakungwati diselenggarakan perjamuan "syukuran" untuk merayakan kemenangan Cirebon atas Galuh dan sekaligus pula merayakan penobatan Pangeran Santri.
Hal ini menunjukkan, bahwa Sumedang Larang telah masuk dalam lingkaran pengaruh Cirebon. Pangeran Santri adalah murid Susuhunan Jati. Pangeran Santri sebagai penguasa Sumedang pertama yang menganut Islam. Ia pula yang membangun Kutamaya sebagai Ibukota baru untuk pemerintahannya.
Dari perkawinannya dengan Ratu Pucuk Umum alias Ratu Inten Dewata, Pangeran Santri yang bergelar Pangeran Kusumahdinata I ini dikaruniai enam orang anak yaitu Pangeran Angkawijaya (Prabu Geusan Ulun), Kiyai Rangga Haji, Kiyai Demang Watang Walakung, Santowan Wirakusumah, yang melahirkan keturunan anak-cucu di Pagaden Subang, Santowan Cikeruh dan Santowan Awiluar.
Pangeran Santri wafat 2 Oktober 1579. Di antara putera-puteri Pangeran Santri dari Ratu Inten Dewata (Pucuk Umum), yang melanjutkan pemerintahan di Sumedang Larang ialah Pangeran Angkawijaya bergelar Prabu Geusan Ulun. Menurut Babad, daerah kekuasaan Geusan Ulun dibatasi kali Cipamali di sebelah Timur, Cisadane di sebelah Barat, sedangkan di sebelah Selatan dan Utara dibatasi laut.
Daerah kekuasaan Geusan Ulun dapat diisimak dari isi surat Rangga Gempol III yang dikirimkan kepada Gubernur Jenderal Willem Van Outhoorn. Surat ini dibuat hari Senin, 2 Rabi'ulawal tahun Je atau 4 Desember 1690, yang dimuat dalam buku harian VOC di Batavia tanggal 31 Januari 1691.
Dalam surat tadi, Rangga Gempol III (Pangeran Panembahan Kusumahdinata IV) menuntut agar kekuasannya dipulihkan kembali seperti kekuasaan buyutnya, yaitu Geusan Ulun. Rangga Gempol III mengungkapkan bahwa kekuasaan Geusan Ulun meliputi 44 penguasa daerah yang terdiri dari 22 kandagalante dan 18 umbul.
Ke-44 daerah di bawah kekuasaan Geusan Ulun meliputi:
I. Di Kabupaten Bandung
1. Timbanganten
2. Batulayang
3. Kahuripan
4. Tarogong
5. Curugagung
6. Ukur
7. Marunjung
8. Daerah Ngabei Astra Manggala
II. Di Kabupaten Parakanmuncang
1. Selacau
2. Daerah Ngabei Cucuk
3. Manabaya
4. Kadungora
5. Kandangwesi (Bungbulang)
6. Galunggung (Singaparna)
7. Sindangkasih
8. Cihaur
9. Taraju
III. Di Kabupaten Sukapura
1. Karang
2. Parung
3. Panembong
4. Batuwangi
5. Saung Watang (Mangunreja)
6. Daerah Ngabei Indawangsa di Taraju
7. Suci
8. Cipiniha
9. Mandala
10. Nagara (Pamungpeuk)
11. Cidamar
12. Parakan Tiga
13. Muara
14. Cisalak
15. Sukakerta
Berdasarkan data yang dikirimkan Rangga Gempol III pada masa VOC, maka kekuasaan Prabu Geusan Ulun meliputi Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Bandung. Batas di sebelah Timur adalah Garis Cimanuk - Cilutung ditambah Sindangkasih (daerah muara Cideres ke Cilutung).
Di sebelah Barat garis Citarum - Cisokan. Batas di sebelah Selatan laut. Namun di sebelah Utara diperkirakan tidak meliputi wilayah yang telah dikuasai oleh Cirebon.
Masa kekuasaan Prabu Geusan Ulun (1579-1601) bertepatan dengan runtuhnya Kerajaan Pajajaran akibat serangan Banten di bawah Sultan Maulana Yusuf.
Sebelum Prabu Siliwangi meninggalkan Pajajaran mengutus empat Kandagalante untuk menyerahkan Mahkota serta menyampaikan amanat untuk Prabu Geusan Ulun yang pada dasarnya Kerajaan Sumedang Larang supaya melanjutkan kekuasaan Pajajaran. Geusan Ulun harus menjadi penerus Pajajaran.
Keempat orang bersaudara, senapati dan pembesar Pajajaran yang diutus ke Sumedang tersebut, yaitu Jaya Perkosa (Sanghyang Hawu); Wirajaya (Nangganan); Kondang Hapa; dan Pancar Buana (Embah Terong Peot).
Pustaka Kertabhumi 1/2 memberitakan keempat bersaudara tersebut secara ringkas: "Sira Paniari deing Pangeran Geusan Ulun, Rukungsira rumaksa wadyabalad, sinangguhan niti kaprabon muwang salwirnya" (Mereka mengabdi kepada Prabu Geusan Ulun. Di sana mereka membina Balatentara, ditugasi mengatur pemerintahan dan lain-lain).
Jaya Perkosa adalah bekas senapati Pajajaran, sedangkan Batara Wiradijaya sesuai julukannya bekas Nangganan. Menurut Kropak 630, jabatan Nangganan lebih tinggi setingkat dari menteri, namun setingkat lebih rendah dari Mangkubumi.
Di samping itu, menurut tradisi hari pasaran Legi (Manis), merupakan saat baik untuk memulainya suatu upaya besar dan sangat penting. Peristiwa itu dianggap sangat penting karena pengukuhan Geusan Ulun "Nyakrawati" atau Nalendra merupakan semacam proklamasi kebebasan Sumedang yang mensejajarkan diri diri dengan Kerajaan Banten dan Cirebon. Arti penting lain yang terkandung dalam peristiwa itu adalah pernyataan bahwa Sumedang Larang menjadi ahli waris serta penerus dari kekuasaan Kerajaan Pajajaran yang sah, di Bumi Parahyangan.
Mahkota dan beberapa atribut kerajaan yang dibawa oleh senapati Jaya Perkosa dan diserahkan kepada Prabu Geusan Ulun merupakan bukti legalisasi kebesaran Sumedang Larang.
Berdasarkan bukti-bukti sejarah baik yang tertulis maupun babad/cerita rakyat, maka penetapan Hari Jadi Sumedang ditetapkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sejarah.
Serangan laskar gabungan Banten, Pakungwati, Demak, dan Angke pada abad XVI ke Pajajaran, merupakan peristiwa yang membuat Kerajaan Pajajaran Runtag (runtuh).
Berakhirnya Pajajaran pada waktu itu, tidak menyeret Sumedang Larang dibawah kepemimpinan Pangeran Santri ikut runtuh pula. Soalnya, sebagian rakyat Sumedang Larang pada itu sudah memeluk Agama Islam. Justru dengan berakhirnya masa kekuasaan Pajajaran, Sumedang Larang kian berkembang.
Penetapan Hari Jadi Kabupaten Sumedang erat kaitannya dengan peristiwa di atas. Terdapat tiga sumber sejarah yang dijadikan pegangan dalam menentukan Hari Jadi Kabupaten Sumedang:
Pertama : Kitab Waruga Jagat, yang disusun Mas Ngabehi Perana tahun 117 M. Kendati tak begitu lengkap isinya, namun sangat membantu dalam upaya mencari tanggal tepat untuk dijadikan pegangan/penentuan Hari Jadi Sumedang."Pajajaran Merad Kang Merad Ing Dina Selasa Ping 14 Wulan Syafar Tahun Jim Akhir" artinya: Kerajaan Pajajaran runtuh pada 14 Syafar tahun Jim Akhir.
Kedua : Buku Rucatan Sejarah yang disusun Dr. R. Asikin Widjayakusumah yang menyertakan antara lain: Pangeran Geusan Ulun Jumeneng Nalendra (harita teu kabawa kasasaha) di Sumedang Larang sabada burak Pajajaran. Artinya, Pangeran Geusan Ulun menjadi raja yang berdaulat di Sumedang Larang setelah Kerajaan Pajajaran berakhir.
Tiga : Dibuat Prof. Dr. Husein Djajadiningrat berjudul : Critise Beshuocing van de Sejarah Banten. Desertasi ini antara lain menyebutkan serangan tentara Islam ke Ibukota Pajajaran terjadi pada tahun 1579, tepatnya Ahad 1 Muharam tahun Alif.
Mengacu pada ketiga sumber sejarah tadi, maka dalam diskusi untuk menentukan Hari Jadi Sumedang yang dihadiri para sejarawan masing-masing Drs. Said Raksakusumah; Drs. Amir Sutaarga; Drs. Saleh Dana Sasmita; Dr. Atja dan Drs. A Gurfani, berhasil menyimpulkan bahwa 14 Syafar Tahun Jim Akhir itu jatuh pada tahun 1578 Masehi, bukan tahun 1579, tepatnya 22 April 1578.
Atas dasar itu DPRD Daerah Tingkat II Sumedang waktu itu, dalam Keputusan Nomor 1/Kprs/DPRD/Smd/1973, Tanggal 8 Oktober 1973, menetapkan tanggal 22 Apri 1578 sebagai Hari Jadi Kabupaten Sumedang.
Bupati Sumedang dari Masa ke Masa:
Berikut adalah nama-nama bupati Sumedang:[2]- Pangeran Koesoemahdinata I (Pangeran Santri) : 1530-1578
- Pangeran Koesoemahdinata II (Pangeran Geusan Ulun) : 1578-1601
- Pangeran Koesoemahdinata III (Pangeran Rangga Gempol I) : 1601-1625
- Pangeran Koesoemahdinata IV (Pangeran Rangga Gede) : 1625-1633
- Raden Bagus Weruh (Pangeran Rangga Gempol II) : 1633-1656
- Pangeran Koesoemahdinata V (Pangeran Panembahan/Pangeran Rangga Gempol III) : 1656-1706
- Dalem Adipati Tanoemadja : 1706-1709
- Raden Tumenggung Koesoemahdinata VII (Pangeran Rangga Gempol IV/Pangeran Karuhun) : 1709-1744
- Dalem Istri Radjaningrat : 1744-1759
- Dalem Adipati Koesoemahdinata VIII (Dalem Anom) : 1759-1761
- Dalem Adipati Soerianagara II : 1761-1765
- Dalem Adipati Soerialaga : 1765-1773
- Dalem Adipati Partakoesoemah (Tusschen Bestur Parakanmuncang) : 1773-1789
- Dalem Aria Satjapati III : 1789-1791
- Raden Tumenggung Soerianagara (Pangeran Koesoemahdinata IX/Pangeran Kornel) : 1791-1828
- Dalem Adipati Koesoemahjoeda (Dalem Ageung) : 1828-1833
- Dalem Adipati Koesoemahdinata (Dalem Alit) : 1833-1834
- Raden Tumenggung Soeriadilaga : 1834-1836
- Pangeran Soeria Koesoemah Adinata (Pangeran Sugih) : 1836-1882
- Pangeran Aria Soeriaatmadja (Pangeran Mekkah) : 1882-1919
- Adipati Aria Koesoemadilaga : 1919-1937
- Tumenggung Aria Soeria Koesoema Adinata : 1937-1946
- Tumenggung Hasan Satjakoesoemah : 1946-1947
- Tumenggung Mohamad Singer : 1947-1949
- Tumenggung Hasan Satjakoesoemah : 1949-1950
- Raden Abdoerachman Kartadipoera : 1951-1958
- Sulaeman Soemitakoesoemah : 1951-1958
- Antam Sastradipura (Kepala Daerah) dan R. Enoh Soeriadikoesoemah (Pj. Bupati) : 1958-1960
- Mohamad Chafil : 1960-1966
- Adang Kartaman : 1966-1970
- Drs. Supian Iskandar (Pj. Bupati) : 1970-1972
- Drs. Supian Iskandar : 1972-1977
- Drs. Soeyoed (Pj. Bupati) : 1977-1978
- Drs. H. Kustandi Abdoerachman : 1978-1983
- Drs. H. Sutardja : 1983-1993
- Drs. H. Moch Husein Jachjasaputra : 1993-1998
- Drs. H. Misbach : 1998-2003
- H. Don Murdono, S.H., M.Si : 2003-sekarang
<div style="width: 50%; float: right;">Posting 2</div>
sumber
0 komentar:
Posting Komentar